Jumat, 04 November 2016

PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND HUSSERL



Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859 – 1938) yang dikenal sebagai bapak fenomenologi sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:
a.       Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah batu yang dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan menentukan kesengajaan kuliah di bidang pendidikan.
b.      Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality atau  maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Noema adalah sisi obyektif dari fenomena, artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif noesis adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c.       Intuisi
Intuisi yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisi lah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisi yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d.      Intersubjektivitas
Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar