Kamis, 29 Desember 2016

DEFINISI HERMENEUTIK

DEFINISI HERMENEUTIK

       Hermenuentik, meskipun merupakan topic tua, akhir-akhir ini telah muncul sebagai sesuatu yang baru yang menarik dalam bidang filsafat. Hermenuentik seakan telah bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting.
       Secara etimologis, kata “hermenuentik” berasal dari bahsa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Makna, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan kepada Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan peasan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahsa yang apat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal kepada seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang di pergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi symbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi tersebut sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
       Oleh karena itu, hermeuntik pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjdai mengerti’. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutic dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Richard E. Palmer, 1969:3).
       Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione.yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahsa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan basaha ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsungg itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I.16a.5).
       Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai, baik bahsa tulisan maupun bahsa lisan, yang sama dengan yang lain. Bahasa sebagai sarana komunikasi antar individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara dengan orang yang lain dengan bahsa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka ke dalam bahasa tertulis.
       Demikian juga jika setiap individu mempunyai pengalaman-pengalaman mental yang sama. Ekspresi oral, atas pengalaman mental ini tidak pernah sama. Rasa sakit yang datang tiba-tiba memaksa kita untuk menjerit atau merintih, namun ekpresi kita bermacam-macam, seperti misalnya: ‘aduuh’, ‘acch’,dsb. Ini berlaku juga bagi ekpresi gagasan-gagasan dan perasaan kita. Bila ekpresi oral kita di tulis, maka akan timbul berbagai komplikasi atau keruwetan. Jadi, dari buah pikiran ke ekspresi oral dan ari ekspresi oral ke ekspresi tertulis terdapat perbedaan ekpresinal yang cukup mencolok.
       Peralihan dari pengalaman mental ke dalam kata-kata yang di udapkan dan ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau konsep atau gambaran (image) pada dasarnya kaya akan corak dan warna, dan mempunyai nuansa yang beraneka ragam. Namun kekayaan dan keanekaragaman ini tidak dapat diucapkan seluruhnya oleh sebuah kata atau ekspresi (ungkapan) yang membawa makna yang definitive dank has. Kita seringkali memaksakan pengalaman mental kita ke dalam kata-kata atau ungkapan yang sudah siap pakai dan tidak berusaha mengungkapkan dengan istilah lain yang mungkin lebih baik dan jelas untuk dimengerti. Kita sering kali terpenjara oleh bahasa kita sendiri. Bila seseorang berkata “saya sedik” atau “saya gembira”, apakah ekspresi yang diungkapkannya dengan istilah lain menunjukkan intensitas perasaannya? Ekspresi atau ungkapan dalam bahsa sehari-hari adalah bersifat umum dan bersifat stereotyped (sekedar ikut-ikutan) dalam pola sikap. Orang pada umumnya mengungkapkan factor yang bersifat “sebagaimana orang bisa berbuat” dalam keadaan sedih atau gembira atas dasar pengalaman hidupnya. Mereka tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Walaupun filsuf-filsuf analitik menyatakan bahwa ada korespodensi satu lawan satu antara konsep dan ungkapannya, namun keraguan masih dapat kita ajukan pula demi mempertahankan kualitas ungkapan-ungkapan atau ekspresi itu sendiri. Kekayaan pengalaman kita akan menjadi miskin (minim) atau kerdil bila hal itu sudah terungkap dalam ucapan ataupun tulisan. Bila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan itu pada dasarnya pada dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Bila kita menuliskannya, maka kata-kata yang tertulis itu juga menjadi lebih sempit artinya.

       Dalam bentuk tertulis, tidak hanya ejaan dan rangkaian huruf-huruf yang berbeda, namun kesamaan bunyi juga akan muncul (ekuivokal) seperti misalnya kata “genting” yang berarto “gawat” atau “atap rumah” atau “sempit”. Dalam categoriae yang selalu didampingkan dengan De Interpretatione, Aristoteles memisahkan antara hominim, sinonim dan kata-kata turunan. Dalam hal-hal seperti ini, orang kemudian biasanya menurunkan arti kata-kata berdasarkan konteks yang ada. Akan tetapi, ada juga beberapa kesulitan di mana kita dapat menurunkan arti pun dari sebuah konteks, atau bahkan lebih paeah lagi kita mungkin menurunkan arti atau makna dari konteks yang sama. Untuk menanggulagi hal-hal semacam ini maka hermeneutik kiranya akan berperan penting.

Dapus: Sumaryono, E. 2009. Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar