DEFINISI
HERMENEUTIK
Hermenuentik, meskipun merupakan topic tua, akhir-akhir ini
telah muncul sebagai sesuatu yang baru yang menarik dalam bidang filsafat.
Hermenuentik seakan telah bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting.
Secara etimologis, kata “hermenuentik” berasal dari bahsa
Yunani hermeneuein yang berarti
‘menafsirkan’. Makna, kata benda hermeneia
secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah
Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu
seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan kepada Jupiter kepada
manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan
lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes
adalah menerjemahkan peasan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahsa
yang apat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah
penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya
akan fatal kepada seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan
atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang di pergunakan oleh
pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi symbol seorang duta yang dibebani
dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi tersebut sepenuhnya
tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Oleh karena itu, hermeuntik pada akhirnya diartikan sebagai
‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjdai mengerti’. Batasan
umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutic dalam pandangan klasik maupun
dalam pandangan modern (Richard E. Palmer, 1969:3).
Hermeneutik
dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh
Aristoteles dalam Peri Hermeneias
atau De Interpretatione.yaitu: bahwa
kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman mental kita, dan
kata-kata yang kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.
Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahsa tulisan dengan orang lain,
maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan basaha ucapan dengan yang lain.
Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara
langsungg itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De
Interpretatione, I.16a.5).
Pada
masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut
Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai, baik bahsa tulisan
maupun bahsa lisan, yang sama dengan yang lain. Bahasa sebagai sarana
komunikasi antar individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu
berbicara dengan orang yang lain dengan bahsa yang berbeda. Bahkan pengalihan
arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan problem.
Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan
muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengkomunikasikan gagasan-gagasan
mereka ke dalam bahasa tertulis.
Demikian juga jika setiap individu mempunyai
pengalaman-pengalaman mental yang sama. Ekspresi oral, atas pengalaman mental
ini tidak pernah sama. Rasa sakit yang datang tiba-tiba memaksa kita untuk
menjerit atau merintih, namun ekpresi kita bermacam-macam, seperti misalnya:
‘aduuh’, ‘acch’,dsb. Ini berlaku juga bagi ekpresi gagasan-gagasan dan perasaan
kita. Bila ekpresi oral kita di tulis, maka akan timbul berbagai komplikasi
atau keruwetan. Jadi, dari buah pikiran ke ekspresi oral dan ari ekspresi oral
ke ekspresi tertulis terdapat perbedaan ekpresinal yang cukup mencolok.
Peralihan dari pengalaman mental ke dalam kata-kata yang di
udapkan dan ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau
menyempit. Sebuah pengalaman mental atau konsep atau gambaran (image) pada
dasarnya kaya akan corak dan warna, dan mempunyai nuansa yang beraneka ragam.
Namun kekayaan dan keanekaragaman ini tidak dapat diucapkan seluruhnya oleh
sebuah kata atau ekspresi (ungkapan) yang membawa makna yang definitive dank
has. Kita seringkali memaksakan pengalaman mental kita ke dalam kata-kata atau
ungkapan yang sudah siap pakai dan tidak berusaha mengungkapkan dengan istilah
lain yang mungkin lebih baik dan jelas untuk dimengerti. Kita sering kali
terpenjara oleh bahasa kita sendiri. Bila seseorang berkata “saya sedik” atau
“saya gembira”, apakah ekspresi yang diungkapkannya dengan istilah lain
menunjukkan intensitas perasaannya? Ekspresi atau ungkapan dalam bahsa
sehari-hari adalah bersifat umum dan bersifat stereotyped (sekedar ikut-ikutan) dalam pola sikap. Orang pada
umumnya mengungkapkan factor yang bersifat “sebagaimana orang bisa berbuat”
dalam keadaan sedih atau gembira atas dasar pengalaman hidupnya. Mereka tidak
mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang
bersifat pribadi. Walaupun filsuf-filsuf analitik menyatakan bahwa ada
korespodensi satu lawan satu antara konsep dan ungkapannya, namun keraguan
masih dapat kita ajukan pula demi mempertahankan kualitas ungkapan-ungkapan
atau ekspresi itu sendiri. Kekayaan pengalaman kita akan menjadi miskin (minim)
atau kerdil bila hal itu sudah terungkap dalam ucapan ataupun tulisan. Bila kita
berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan itu pada dasarnya pada dasarnya lebih
sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Bila kita menuliskannya,
maka kata-kata yang tertulis itu juga menjadi lebih sempit artinya.
Dalam bentuk tertulis, tidak hanya ejaan dan rangkaian
huruf-huruf yang berbeda, namun kesamaan bunyi juga akan muncul (ekuivokal)
seperti misalnya kata “genting” yang berarto “gawat” atau “atap rumah” atau “sempit”.
Dalam categoriae yang selalu
didampingkan dengan De Interpretatione,
Aristoteles memisahkan antara hominim, sinonim dan kata-kata turunan. Dalam hal-hal
seperti ini, orang kemudian biasanya menurunkan arti kata-kata berdasarkan
konteks yang ada. Akan tetapi, ada juga beberapa kesulitan di mana kita dapat
menurunkan arti pun dari sebuah konteks, atau bahkan lebih paeah lagi kita
mungkin menurunkan arti atau makna dari konteks yang sama. Untuk menanggulagi
hal-hal semacam ini maka hermeneutik kiranya akan berperan penting.
Dapus: Sumaryono, E.
2009. Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat).
Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar