Filosofis Tahlilan
Sering kita
dengar terjadi pro dan kontra tentang tahlilan dalam agama islam. Banyak yang setuju, dan banyak pula yang
menganggapnya sebagai suatu ibadah yang dibuat-buat dan dianggap sebagai suatu bid'ah, akan tetapi menurut saya tahlilan adalah sebuah
budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik.
Dia tak hanya
menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah
dalam kompartemen ideologi dan keyakinan. Tahlilan berasal
dari bahasa Arab “tahlil” yang berarti “ekspresi kesenangan” atau “ekspresi keriangan”.
Kata itu bisa juga berarti “pengucapan la ilaha illallah”. Dalam upacara Tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan memang menjadi fokus
utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu.
Surat Yasin
menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan). Dalam tradisi NU, Tahlilan biasanya
dilakukan di samping makam dengan membangun tenda atau di rumah orang yang meninggal. Biasanya, upacara Tahlilan dilakukan pada
bilangan hari tertentu, misalnya 7 hari, 40 hari, atau 100 hari. Upacara
Tahlilan biasanya dilakukan setiap malam selama 7 hari berturut-turut. Ada pula
yang melakukannya selama 40 malam berturut-turut.
Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan.
Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan.
Tapi saya
menduga bahwa rujukan angka-angka tersebut terkait erat dengan cerita-cerita
eskatologis yang mengisahkan kondisi orang yang meninggal, misalnya bahwa arwah
seseorang akan meninggalkan rumahnya pada hari ke-7 atau pada hari ke-40 sejak
ia meninggal. NU dan kaum Muslim
tradisional secara umum sangat meyakini drama perjalanan kematian. Ketika
seorang manusia meninggal, fase pertama yang harus dilewatinya adalah sebuah
ujian di liang kubur di mana Malaikat akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
standar seperti man
rabbuka? (siapa tuhanmu), man nabiyyuka? (siapa nabimu), ma
dinuka? (apa agamamu), dan seterusnya.
Tahap alam
kubur ini sangat penting bagi seseorang untuk melewati fase-fase berikutnya,
sebelum akhirnya digiring ke Padang Mahsyar. Dia dan manusia lainnya,
diperintah untuk melewati “jembatan lurus” (sirathal mustaqim). Jangan bayangkan Suramadu, karena jembatan ini
sangat tipis, sehingga ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketebalannya
seukuran rambut dibelah tujuh.
Jembatan itu
menghampar begitu panjangnya di atas bara api yang suhunya melebihi permukaan
Matahari. Itulah Neraka Jahanam. Tidak banyak orang yang bisa selamat melewati
jembatan supermini namun panjang itu. Tapi, seperti diriwayatkan sebuah hadis,
mereka yang punya amal saleh yang cukup akan dengan mudah melewati sirathal
mustaqim untuk kemudian masuk ke surga yang nikmat (jannatun naim). Tapi mereka yang banyak dosa akan terjerambab
ke dalam Neraka Jahanam.
Dengan latar
belakang perjalanan kematian yang begitu menegangkan, warga NU dan kaum Muslim
tradisional mencoba memperingan perjalanan orang yang meninggal, yakni dengan
cara memberi bantuan amal saleh berupa bacaan-bacaan dan doa-doa dalam
Tahlilan. Dengan kata lain, Tahlilan adalah upaya untuk memperingan perjalanan
orang yang meninggal menuju persinggahan terakhir.
Tentu tidak
semua umat Islam meyakini kisah dramatis perjalanan kematian seperti di atas.
Kalaupun meyakini, mereka tidak percaya bahwa orang yang hidup bisa membantu
orang yang sudah mati. Kaum Wahabi percaya bahwa amal perbuatan seseorang akan
terputus ketika ia meninggal. Tidak ada orang di dunia yang mampu menyelamatkan
atau membantunya di akhirat sana.
Namun,
terlepas dari perdebatan yang tak mungkin bisa dibuktikan itu (karena kita
harus meninggal dulu untuk membuktikannya), Tahlilan adalah sebuah budaya yang
sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak
hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang
terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan. Saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang
dikhawatirkan kaum Wahabi, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang
menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bid’ah (mengada-ada). Yang saya saksikan adalah sebuah
subkultur Islam yang sangat menarik yang bisa menjadi kohesi bagi masyarakat
kota yang kerap terlena dalam kesibukan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar