Jumat, 30 Desember 2016

Filosofis Tahlilan


Filosofis Tahlilan
Sering kita dengar terjadi pro dan kontra tentang tahlilan dalam agama islam. Banyak yang setuju, dan banyak pula yang menganggapnya sebagai suatu ibadah yang dibuat-buat dan dianggap sebagai suatu bid'ah, akan tetapi menurut saya tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik.
Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan. Tahlilan berasal dari bahasa Arab “tahlil” yang berarti “ekspresi kesenangan” atau “ekspresi keriangan”. Kata itu bisa juga berarti “pengucapan la ilaha illallah”. Dalam upacara Tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan memang menjadi fokus utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu.
Surat Yasin menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan). Dalam tradisi NU, Tahlilan biasanya dilakukan di samping makam dengan membangun tenda atau di rumah orang yang meninggal. Biasanya, upacara Tahlilan dilakukan pada bilangan hari tertentu, misalnya 7 hari, 40 hari, atau 100 hari. Upacara Tahlilan biasanya dilakukan setiap malam selama 7 hari berturut-turut. Ada pula yang melakukannya selama 40 malam berturut-turut.
Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan.
Tapi saya menduga bahwa rujukan angka-angka tersebut terkait erat dengan cerita-cerita eskatologis yang mengisahkan kondisi orang yang meninggal, misalnya bahwa arwah seseorang akan meninggalkan rumahnya pada hari ke-7 atau pada hari ke-40 sejak ia meninggal. NU dan kaum Muslim tradisional secara umum sangat meyakini drama perjalanan kematian. Ketika seorang manusia meninggal, fase pertama yang harus dilewatinya adalah sebuah ujian di liang kubur di mana Malaikat akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan standar seperti man rabbuka? (siapa tuhanmu), man nabiyyuka? (siapa nabimu), ma dinuka? (apa agamamu), dan seterusnya.
Tahap alam kubur ini sangat penting bagi seseorang untuk melewati fase-fase berikutnya, sebelum akhirnya digiring ke Padang Mahsyar. Dia dan manusia lainnya, diperintah untuk melewati “jembatan lurus” (sirathal mustaqim). Jangan bayangkan Suramadu, karena jembatan ini sangat tipis, sehingga ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketebalannya seukuran rambut dibelah tujuh.
Jembatan itu menghampar begitu panjangnya di atas bara api yang suhunya melebihi permukaan Matahari. Itulah Neraka Jahanam. Tidak banyak orang yang bisa selamat melewati jembatan supermini namun panjang itu. Tapi, seperti diriwayatkan sebuah hadis, mereka yang punya amal saleh yang cukup akan dengan mudah melewati sirathal mustaqim untuk kemudian masuk ke surga yang nikmat (jannatun naim). Tapi mereka yang banyak dosa akan terjerambab ke dalam Neraka Jahanam.
Dengan latar belakang perjalanan kematian yang begitu menegangkan, warga NU dan kaum Muslim tradisional mencoba memperingan perjalanan orang yang meninggal, yakni dengan cara memberi bantuan amal saleh berupa bacaan-bacaan dan doa-doa dalam Tahlilan. Dengan kata lain, Tahlilan adalah upaya untuk memperingan perjalanan orang yang meninggal menuju persinggahan terakhir. 
Tentu tidak semua umat Islam meyakini kisah dramatis perjalanan kematian seperti di atas. Kalaupun meyakini, mereka tidak percaya bahwa orang yang hidup bisa membantu orang yang sudah mati. Kaum Wahabi percaya bahwa amal perbuatan seseorang akan terputus ketika ia meninggal. Tidak ada orang di dunia yang mampu menyelamatkan atau membantunya di akhirat sana.

Namun, terlepas dari perdebatan yang tak mungkin bisa dibuktikan itu (karena kita harus meninggal dulu untuk membuktikannya), Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan. Saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang dikhawatirkan kaum Wahabi, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bid’ah (mengada-ada). Yang saya saksikan adalah sebuah subkultur Islam yang sangat menarik yang bisa menjadi kohesi bagi masyarakat kota yang kerap terlena dalam kesibukan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar