Jumat, 30 Desember 2016

Filosofi Gudeg


Filosofi Gudeg
Makanan tradisional berperan penting dalam ketahanan dan kemandirian pangan. Semua jenis makanan tradisional dibuat dengan potensi lokal, tidak mungkin dibuat menggunakan bahan baku impor," kata Prof. Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Saat ini publik Jogja sepakat kalau gudeg adalah ikon kuliner mereka. Eksistensi makanan ini telah meniti jejak-jejak sejarah yang panjang, dimulai bersamaan dengan dibangunnya kerajaan Mataram Islam di Alas Mentaok yang ada di daerah Kotagede sekitar abad ke-15. Dalam arti generik, “alas” itu artinya hutan. Banyak pohon ditebang saat pembangunan itu, diantaranya adalah pohon nangka, kelapa, dan tangkil atau melinjo. Anugerah alam inilah yang menginspirasi dan mendorong para pekerja untuk membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Jumlah mereka banyak, lelah dan lapar, maka nangka muda (disebut “gori”) yang dimasak jumlahnya juga sangat banyak. Dari konteks historis ini, jelas gudeg tidak lahir dari rahim bourgeoisie, melainkan dari rahim proletariat, begitulah dalam kaca mata Marxisme. Gudeg kemudian menjadi salah satu ekspresi “manunggaling kawula gusti” yang memang sudah berurat akar dalam batin orang Jawa— begitu kata seorang Yesuit ahli budaya Jawa, almarhum Prof. Zoetmulder, SJ. Kebanyakan gudeg Jogja berbahan nangka muda alias gori, tetapi di kemudian hari ada yang namanya gudeg manggar, berbahan bunga kelapa yang masih sangat muda. Untuk mengaduknya, dalam bahasa Jawa dikatakan “hangudek”, menggunakan alat menyerupai dayung perahu. Dari proses “hangudeg” inilah lalu disebut “gudeg”. Dalam karya sastra Jawa “Serat Centhini”, disinggung tentang gudeg.

Diceritakan di dalamnya, somewhere in the 16th century Raden Mas Cebolang sedang singgah di pedepokan Pengeran Tembayat, somewhere in present-day Klaten, dan di sana Pangeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan, salah satunya adalah gudeg. Meskipun begitu sebelum jadi makanan tradisional yang setenar sekarang perlu proses panjang. Diungkapkan oleh Prof. Gardjito, karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, sampai dengan awal abad ke-19 di Jogja sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg. Teknologi memasak menentukan, gudeg tentu saja mengikuti perkembangan dari api tungku, ke api minyak tanah hingga api gas. Dulu itu, gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur. Anak sakit akan diajak makan gudeg bila telah sembuh, misalnya. Ada bermacam lagi ungkapan syukur lainnya. Sejak Presiden Soekarno menggagas pendirian Univesitas Gajah Mada (UGM) pada dekade 1940-an, susul-menyusul institusi pendidikan lain juga didirikan, ada ASRI (ISI hari ini), ada Sanata Dharma, ada lainnya. Lalu Yogyakarta menjadi kota pelajar, gudeg juga mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat. Lahirnya “gudeg kering” sejalan dengan perkembangan ini, menemani perjalanan kakaknya “gudeg basah” yang lahir sejak semula. Para pelajar pendatang luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh, kemudian menginspirasi hadirnya gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.
Jadi bagi kalian yang ingin berlibur ke Jogja dan membawa oleh-oleh gudeg untuk kelurga di rumah, jangan khawatir lagi yaaa... karena saat ini sudah tersedia gudeg kering yang dapat dijadikan oleh-oleh dan pastinya awet hingga beberapa hari. So, jangan ragu-ragu lagi untuk menjadikan jogja sebagai destinasi liburan anda :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar