Filosofi
Gudeg
Makanan tradisional berperan penting dalam ketahanan dan
kemandirian pangan. Semua jenis makanan tradisional dibuat dengan potensi
lokal, tidak mungkin dibuat menggunakan bahan baku impor," kata Prof.
Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi
Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Saat ini publik Jogja sepakat kalau
gudeg adalah ikon kuliner mereka. Eksistensi makanan ini telah meniti
jejak-jejak sejarah yang panjang, dimulai bersamaan dengan dibangunnya kerajaan
Mataram Islam di Alas Mentaok yang ada di daerah Kotagede sekitar abad ke-15. Dalam
arti generik, “alas” itu artinya hutan. Banyak pohon ditebang saat pembangunan
itu, diantaranya adalah pohon nangka, kelapa, dan tangkil atau melinjo.
Anugerah alam inilah yang menginspirasi dan mendorong para pekerja untuk
membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Jumlah mereka banyak, lelah dan
lapar, maka nangka muda (disebut “gori”) yang dimasak jumlahnya juga sangat
banyak. Dari konteks historis ini, jelas gudeg tidak lahir dari rahim
bourgeoisie, melainkan dari rahim proletariat, begitulah dalam kaca mata
Marxisme. Gudeg kemudian menjadi salah satu ekspresi “manunggaling kawula
gusti” yang memang sudah berurat akar dalam batin orang Jawa— begitu kata
seorang Yesuit ahli budaya Jawa, almarhum Prof. Zoetmulder, SJ. Kebanyakan
gudeg Jogja berbahan nangka muda alias gori, tetapi di kemudian hari ada yang
namanya gudeg manggar, berbahan bunga kelapa yang masih sangat muda. Untuk
mengaduknya, dalam bahasa Jawa dikatakan “hangudek”, menggunakan alat
menyerupai dayung perahu. Dari proses “hangudeg” inilah lalu disebut “gudeg”.
Dalam karya sastra Jawa “Serat Centhini”, disinggung tentang gudeg.
Diceritakan di dalamnya, somewhere in the 16th century Raden
Mas Cebolang sedang singgah di pedepokan Pengeran Tembayat, somewhere in
present-day Klaten, dan di sana Pangeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama
Ki Anom dengan beragam makanan, salah satunya adalah gudeg. Meskipun begitu
sebelum jadi makanan tradisional yang setenar sekarang perlu proses panjang.
Diungkapkan oleh Prof. Gardjito, karena gudeg perlu waktu memasak yang lama,
sampai dengan awal abad ke-19 di Jogja sendiri belum begitu banyak orang
berjualan gudeg. Teknologi memasak menentukan, gudeg tentu saja mengikuti
perkembangan dari api tungku, ke api minyak tanah hingga api gas. Dulu itu,
gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur. Anak sakit akan
diajak makan gudeg bila telah sembuh, misalnya. Ada bermacam lagi ungkapan
syukur lainnya. Sejak Presiden Soekarno menggagas pendirian Univesitas Gajah
Mada (UGM) pada dekade 1940-an, susul-menyusul institusi pendidikan lain juga
didirikan, ada ASRI (ISI hari ini), ada Sanata Dharma, ada lainnya. Lalu
Yogyakarta menjadi kota pelajar, gudeg juga mulai berkembang dan banyak dikenal
masyarakat. Lahirnya “gudeg kering” sejalan dengan perkembangan ini, menemani
perjalanan kakaknya “gudeg basah” yang lahir sejak semula. Para pelajar
pendatang luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh, kemudian
menginspirasi hadirnya gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih
tahan lama.
Jadi bagi kalian yang ingin berlibur ke Jogja dan membawa oleh-oleh gudeg untuk kelurga di rumah, jangan khawatir lagi yaaa... karena saat ini sudah tersedia gudeg kering yang dapat dijadikan oleh-oleh dan pastinya awet hingga beberapa hari. So, jangan ragu-ragu lagi untuk menjadikan jogja sebagai destinasi liburan anda :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar