Sejarah Kota Surabaya
Menurut cerita yang beredar dimasyarakat, asal usul nama Surabaya berasal dari cerita mitos
masyarakat yaitu pertempuran antara sura (ikan hiu) dan baya dan akhirnya
menjadi ikon kota Surabaya. Kota Surabaya merupakan kota terbesar kedua di
indonesia setelah Kota Jakarta.
Surabaya sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia dengan jumlah penduduk
metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa. Surabaya merupakan pusat bisnis,
perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya juga
terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat
diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari
penjajah. Secara geografis, Kota Surabaya terletak di tepi pantai utara
provinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan Selat Madura di Utara dan
Timur, Kabupaten Sidoarjo di Selatan, serta Kabupaten Gresik di Barat. Berikut
ini dapat kita pelajari tentang sejarah kota Surabaya dari
sebelum kedatangan belanda, zaman hindia belanda hingga pertempuran
mempertahankan Surabaya.
1.
Sejarah Kota
Surabaya Sebelum Kedatangan Belanda
Surabaya
dulunya merupakan gerbang Kerajaan Majapahit, yakni di muara Kali Mas. Bahkan
hari jadi Kota Surabaya ditetapkan sebagai tanggal 31 Mei 1293. Hari itu
sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden
Wijaya terhadap pasukan kerajaan Mongol utusan Kubilai Khan. Pasukan Mongol
yang datang dari laut digambarkan sebagai ikan SURO (ikan hiu/berani)dan
pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan sebagai BOYO
(buaya/bahaya), jadi secara harfiah diartikan berani menghadapi bahaya yang
datang mengancam. Maka hari kemenangan itu diperingati sebagai hari jadi
Surabaya.
Pada
abad ke-15, Islam mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu
anggota wali sanga, Sunan Ampel, mendirikan masjid dan pesantren di daerah
Ampel. Tahun 1530, Surabaya menjadi bagian dari Kesultanan Demak.
Menyusul
runtuhnya Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram:
diserbu Panembahan Senopati tahun 1598, diserang besar-besaran oleh Panembahan
Seda ing Krapyak tahun 1610, diserang Sultan Agung tahun 1614. Pemblokan aliran
Sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Tahun
1675, Trunojoyo dari Madura merebut Surabaya, namun akhirnya didepak VOC pada
tahun 1677.
Dalam
perjanjian antara Paku Buwono II dan VOC pada tanggal 11 November 1743,
Surabaya diserahkan penguasaannya kepada VOC.
2.
Serajah Kota Surabaya pada Zaman Hindia Belanda
Pada zaman Hindia-Belanda, Surabaya berstatus sebagai ibukota
Karesidenan Surabaya, yang wilayahnya juga mencakup daerah yang kini wilayah
Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya
mendapat status kotamadya (Gemeente). Pada tahun 1926, Surabaya ditetapkan
sebagai ibukota provinsi Jawa Timur. Sejak itu Surabaya berkembang menjadi kota
modern terbesar kedua di Hindia-Belanda setelah Batavia.
Sebelum tahun 1900, pusat kota Surabaya hanya berkisar di
sekitar Jembatan Merah saja. Sampai tahun 1920-an, tumbuh pemukiman baru
seperti daerah Darmo, Gubeng, Sawahan, dan Ketabang. Pada tahun 1917 dibangun
fasilitas pelabuhan modern di Surabaya.
Tanggal 3 Februari 1942, Jepang menjatuhkan bom di Surabaya.
Pada bulan Maret 1942, Jepang berhasil merebut Surabaya. Surabaya kemudian
menjadi sasaran serangan udara Sekutu pada tanggal 17 Mei 1944.
3.
Sejarah Kota Surabaya, Pertempuran
Mempertahankan Surabaya
Setelah Perang Dunia II usai, pada 25 Oktober 1945, 6000
pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir
Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya dengan perintah
utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia. Mereka juga
bertugas mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan
Jepang menyerahkan semua senjata mereka, tetapi milisi dan lebih dari 20000
pasukan Indonesia menolak.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo,
Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi
tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian
antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta
yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris
dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara
Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan
milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen
Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur
pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen
Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi
23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan
mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan
Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke
Surabaya untuk berunding. Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan
yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen
Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak
dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen
Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling
ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal
persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio,
dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang
sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan
Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas
untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki
tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang
perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia,
tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby
dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke
markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas
ditembak oleh milisi Indonesia.
Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar
kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai
Surabaya. 9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata
tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi
ultimatum ini tidak diindahkan.
10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dan perang
sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua pesawat Inggris ditembak
jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang Brigadir Jendral Robert Guy
Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.
20 November 1945, Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan
korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20000 tentara Indonesia, milisi
dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.
Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling
berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade 1940an. Pertempuran ini
menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan
mengusir penjajah.
Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa,
setelah pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi
secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran tanggal 10
November 1945 tersebut hingga sekarang dikenang dan diperingati sebagai Hari
Pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar