Lahirnya
Ontologi Sebagai Awal Pemisahan Pengetahuan dan Kepentingan
Munculnya pemikiran
filosofis dalam masyarakat Yunani menimbulkan demitologisasi pemikiran mitis.
Melalui ungkapan filosofis, teori mulai dijauhkan dari ritus keagamaan,
meskipun arti harfiahnya tetap, yaitu “memandang”. Dalam pemikiran filosofis,
teori berarti “kontemplasi atas cosmos”.
Para filsuf memandang alam semesta dan menemukan suatu tertib yang tidak
berubah-ubah, yaitu suatu macrocosmos.
Dengan “memandang” macrocosmos, sang
filsuf menyadari adanya gerak alamiah dan nada harmonis yang sama dalam dirinya
sendiri. Apa yang dilakukannya aalah menyesuaikan diri dengan tertib alam
semesta itu. Tertib harmonis macrocosmos merupakan
keadaan yang baik dan pengetahuan akan yang baik itu mendorongnya untuk
mewujudkan tertib itu dalam tingkah laku kehidupannya sendiri. Dengan jalan ini
sang filsuf melakukan kegiatan yang disebut mimesis (meniru). “kontemplasi atas
cosmos”, dengan demikian, menjadi
tingkah laku praktis melalui kesadaran akan dirinya sebagai mocrocosmos.
Bersamaan dengan
munculnya filsafat di Yunani, teori juga mulai dipisahkan dari praxis. Denganmengartikan teori sebaga
kontemplasi atas cosmos, filsafat telah menarik garis batas antara Ada dan Waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit
cara berfikir yang menyebabkan ontology dalam sejarah pemikiran manusia.
Melalui teori, filsuf mulai menyusun konsep-konsep tentang ke-apa-an (hakikat)
benda-benda dan apa yang disebut hakikat itu tak lain dari inti kenyataan yang
tak berubah-ubah. Dengan berusaha mengangkat pemahamannya ke dalam rumusan yang
tak berubah-ubah, filsuf berkehendak untuk menera atas cosmos akan pemahaman
konseptual itu pada berbagai situasi. Pemahaman semacam itu dipandang sebagai
pengetahuan sejati dan untuk memperoleh pengetahuan sejati itu teori sendiri
makin dimurnikan dari unsur-unsur yang berubah-ubah, yakni dorongan dan
perasaan subjektif manusia sendiri. Sikap mengambil jarak dan membersihkan
pengetahuan dari dorongan empiris itu disebut “sikap teoretis murni”. Dengan
sikap itu manusia dapat memahami kenyataan sebagaimana adanya. “kontemplasi
atas kosmos” kemudian menjadi “kontemplasi bebas-kepentingan”. Dengan menekan
kepentingan, manusia membebaskan diri dari dorongan dan perasaan yang
dianggapnya sebagai kekuatan jahat. Dengan kata lain, catharsis yang semula dialami lewat upacara mitis sekarang dicapai
lewat kemauan manusia sendiri, yakni melalui teori.
Dengan demikian, apa
yang kita kenal dengan nama ontology adalah bentuk pemahaman atas kenyataan
yang menghendaki pengetahuan murni yang bebas-kepentingan. Pengetahuan yang
lahir dari refleksi ontologis adalah suatu disinterested
knowledge. Kelahiran ontology mengikis habis bios theoretikos karena teori tidak lagi memperoleh kepenuhan isinya
dalam kehidupan, melainkan justru dengan menarik diri dari kehidupan praktis
manusia. Tanpa disadari sang pemikir sendiri, pembersihan kepentingan nya
sendiri, yaitu pelaksanaan kepentingan untuk menekan kepentingan demi mencapai
pengetahuan murni.
Dapus: Hardiman, F.Budi. 2014. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar