Sabtu, 17 Desember 2016

Teori-teori Kritis Sebagai Usaha Mengaitkan Teori dan Praxis

Teori-teori Kritis Sebagai Usaha Mengaitkan Teori dan Praxis

Pendirian-pendirian Mazhab Frankfurt dan Habermas mengenai pertautan teori dan praxis hidup social manusia merupakan pokok bahasan tulisan ini. Sebagaimana telah dirumuskan kembali oleh Habermas, Teori kritis bukanlah sebuah teori “ilmiah”, sebagimana masyarakat luas dikenal melukiskan teori kritis sebagai suatu metodologi yang beridiri didalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa teori kritis tidak berhenti pada fakta objektif, sebagaimana dianut teori-teori pisitifistik. Teori kritis hendak menembus realitas social sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang transcendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa teori kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontektual. Dengan demikian, teori praktis tidak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transcendental dan yang bersifat empiris.
Karena sifat dialektis itu, Teori Kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak, ia melakukan kritik transcendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Dilain pihak, ia melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi sosiohistoris dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia. Dengan kata lain, teori kritis merupakan Ideologiekritik (Kritik Ideologi), yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transcendental entah empiris.
Dalam kontek masyarakat industry maju, teori kritis sebagai kritik ideology mengemban tugas untuk membuka “kedok” ideologis dari positivisme. Positivism bukan sekedar pandangan positifistik mengenai ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih luas lagi, positivism merupakan “cara berfikir” yang menjangkiti kesadaran masyarakat industry maju. Dari keseluruhan keprihatinannya atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa teori kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, teori kritis berusaha mengatasi saintisme atau positifisme. Pada taraf teori sosial¸kritik itu dibidikkan ke berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi social masyarakat yang refresif. Kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti dinyatakan Habermas:”…suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman positifistik atas ilmu-ilmu social mengandung relevansi polotis yang sama beratnya dengan klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi melanggengkan statusquo masyarakat. Sebaliknya, interaksi social sendiri diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positifistik yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas teknologi. Kedalam situasi ideologis itulah teori kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi-diri. Disini teori mendorong praksis hidup kualitis manusia.
Meskipun terdapat garis umum yang sama, teori kritis cukup bervariasi dalam gaya dan isinya menurut pemikirnya masing-masing, entah itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse. Yang secara khusus saya soroti dalam tulisan ini adalah teori kritis Habermas. Teori kritisnya merupakan usaha memperbaharui teori kritis Mazhab Frankfurt yang mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk mengadakan perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan keprihatinan itu secara baru. Perubahan itu tak dapat dipaksakan secara refolusioner melalui “jalan kekerasan”, juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan refolusioner melaluikekerasan hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi pada rezim stalim. Di lain pihal, masyarakat tidak akan berubah selama anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu datangnya gerhana. Menurut Habermas dan inilah gagasan orisinalnya—transformasi social perlu diperjuangkan melalui dialog emansipatoris. Hanya mealalui “jalan komunikasi” inilah yang diharapkan terwujud suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam suasana “komunikasi bebas dari penguasaan”.

Pandangan diatas juga natara lain yang menarik minat saya sehingga saya memberanikan diri untuk menuangkan pemikiran Habermas dalam tulisan ini. Disanping itu, makna kritik ideology sebagaimana terumus secara konsisten dalam pemikiran filsuf ini saya kira dapat memberikan sumbangan paradigm bagi ilmu-ilmu social yang sedang tumbuh dalam masyarakat kita. Ditengah derap pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi yang diakibatkan oleh perubahan sosiokultural menghasilkan tidak hanya kemajuan, tetapi juga ketimpangan. Ketidak adilan social bukan hanya fakta yang sedang diusahakan perbaikannya, tetapi juga suatu keadaan yang dilestarikan secara tersamar dan menjadi suatu iklim. Situasi semacam itu tidak hanya memerlukan penanganan teknis-praktis, tetapi juga terang teoretis yang bersifat kritis untuk mengoyang selubung ideologis yang menggelapkan pengetahuan para anggota masyaratak mengenai realitas sosialnya. Dalam situasi macam itulah diperlukan kritik ideology, naik terhadap ilmu-ilmu yang melukiskan fakta social itu maupun terhadap masyarakat itu sendiri.

Dapus: Hardiman, F.Budi. 2014. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar