Teori-teori
Kritis Sebagai Usaha Mengaitkan Teori dan Praxis
Pendirian-pendirian Mazhab
Frankfurt dan Habermas mengenai pertautan teori dan praxis hidup social manusia
merupakan pokok bahasan tulisan ini. Sebagaimana telah dirumuskan kembali oleh
Habermas, Teori kritis bukanlah sebuah teori “ilmiah”, sebagimana masyarakat
luas dikenal melukiskan teori kritis sebagai suatu metodologi yang beridiri
didalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi).
Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa teori kritis tidak berhenti pada
fakta objektif, sebagaimana dianut teori-teori pisitifistik. Teori kritis
hendak menembus realitas social sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan
kondisi yang transcendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu
pengetahuan dimaksudkan bahwa teori kritis juga bersifat historis dan tidak
meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontektual. Dengan demikian,
teori praktis tidak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. teori kritis
merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transcendental dan yang
bersifat empiris.
Karena sifat dialektis
itu, Teori Kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak,
ia melakukan kritik transcendental dengan menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Dilain pihak, ia melakukan kritik
imanen dengan menemukan kondisi sosiohistoris dalam konteks tertentu yang
mempengaruhi pengetahuan manusia. Dengan kata lain, teori kritis merupakan Ideologiekritik (Kritik Ideologi),
yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila
pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transcendental entah
empiris.
Dalam kontek masyarakat
industry maju, teori kritis sebagai kritik ideology mengemban tugas untuk
membuka “kedok” ideologis dari positivisme. Positivism bukan sekedar pandangan
positifistik mengenai ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih luas lagi, positivism
merupakan “cara berfikir” yang menjangkiti kesadaran masyarakat industry maju. Dari
keseluruhan keprihatinannya atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat
dikatakan bahwa teori kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan
secara dialektis. Pada taraf teori
pengetahuan, teori kritis berusaha mengatasi saintisme atau positifisme. Pada
taraf teori sosial¸kritik itu
dibidikkan ke berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi
social masyarakat yang refresif. Kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti
dinyatakan Habermas:”…suatu kritik
radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman
positifistik atas ilmu-ilmu social mengandung relevansi polotis yang sama
beratnya dengan klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi melanggengkan
statusquo masyarakat. Sebaliknya,
interaksi social sendiri diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan
positifistik yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas
teknologi. Kedalam situasi ideologis itulah teori kritis membawa misi
emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih
rasional melalui refleksi-diri. Disini teori mendorong praksis hidup kualitis manusia.
Meskipun terdapat garis
umum yang sama, teori kritis cukup bervariasi dalam gaya dan isinya menurut
pemikirnya masing-masing, entah itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse. Yang secara
khusus saya soroti dalam tulisan ini adalah teori kritis Habermas. Teori kritisnya
merupakan usaha memperbaharui teori kritis Mazhab Frankfurt yang mengalami
jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk
mengadakan perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan
keprihatinan itu secara baru. Perubahan itu tak dapat dipaksakan secara
refolusioner melalui “jalan kekerasan”, juga tak dapat dipastikan datangnya
seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan refolusioner melaluikekerasan
hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi
pada rezim stalim. Di lain pihal, masyarakat tidak akan berubah selama
anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu datangnya gerhana. Menurut
Habermas dan inilah gagasan orisinalnya—transformasi social perlu diperjuangkan
melalui dialog emansipatoris. Hanya mealalui
“jalan komunikasi” inilah yang diharapkan terwujud suatu masyarakat demokratis
radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam suasana “komunikasi bebas
dari penguasaan”.
Pandangan diatas juga
natara lain yang menarik minat saya sehingga saya memberanikan diri untuk
menuangkan pemikiran Habermas dalam tulisan ini. Disanping itu, makna kritik ideology
sebagaimana terumus secara konsisten dalam pemikiran filsuf ini saya kira dapat
memberikan sumbangan paradigm bagi ilmu-ilmu social yang sedang tumbuh dalam
masyarakat kita. Ditengah derap pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi
yang diakibatkan oleh perubahan sosiokultural menghasilkan tidak hanya
kemajuan, tetapi juga ketimpangan. Ketidak adilan social bukan hanya fakta yang
sedang diusahakan perbaikannya, tetapi juga suatu keadaan yang dilestarikan
secara tersamar dan menjadi suatu iklim. Situasi semacam itu tidak hanya
memerlukan penanganan teknis-praktis, tetapi juga terang teoretis yang bersifat
kritis untuk mengoyang selubung ideologis yang menggelapkan pengetahuan para
anggota masyaratak mengenai realitas sosialnya. Dalam situasi macam itulah
diperlukan kritik ideology, naik terhadap ilmu-ilmu yang melukiskan fakta social
itu maupun terhadap masyarakat itu sendiri.
Dapus: Hardiman, F.Budi. 2014. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar