Filosofi Roti Buaya
Roti
buaya memang sangat identik untuk acara pernikahan yang di bawa oleh pihak
calon memperlai pria untuk di serahkan pada calon memperlai wanita. Tradisi dan
budaya ini asli dari Betawi masyarakat yang tinggal di Ibu Kota. Disebut roti
buaya karena memang bentuk roti ini seperti buaya. Dan ini selalu ada di acara
pernikahan tepatnya pada seserahan, roti buaya di berikan sebagai simbol bahwa
calon mempelai pria mampu memenuhi permintaan calon memperlai wanita. Dahulu
roti ini tak boleh dimakan karena dianggap keramat, namun saat ini roti buaya
tak dianggap kramat lagi, itu hanya sebuah simbol dan tradisi dai adat Betawi,
roti buaya pun disantap dengan dicocol pada sirup dengan cap pisang.
Filosofi
adanya roti buaya sebagai simbol hadiah pernikahan yang di bawa calon memperlai
pria kepada calon mempelai wanita adalah adanya kepercayaan yang mana jika lelaki
jejaka ingin meminang seorang wanita, maka syarat yang di minta oleh calon
mertuanya adalah membawa seekor buaya. Tapi karena dirasa sulit untu
membawanya, maka lelaki tersebut berinisiatif untuk mengganti buaya menjadi
sebuah roti dengan bentuk menyerupai buaya. Selain itu karena roti buaya
merupakan lambing kemapanan dan kesetiaan sampai akhir hayat, menngapa? Karena pada
zaman dahulu yang dapat memakan roti hanyalah kaum bangsawan saja, dan buaya
merupakan binatang yang paling setia, karena buaya hanya menikah satu kali
selama hidupnya.
Poin
penting dari makna roti buaya itu sendiri adalah tentang sebuah perjuangan.
Yang mana calon mempelai pria berusaha memenuhi permintaan dari calon mempelai
wanita sebelum resmi dinikahinya. Tradisi ini terus dilakukan secara turun
temurun sehingga tak heran bila Anda melihat atau menghadiri acara pernikahan
pada masyarakat Betawi dalam seserahan pasti aka nada satu atau dua roti buaya
yang sudah dihias cantik. Dahulu roti buaya hanyalah roti tanpa isi, tapi
semakin berkembangnya jaman, roti ini pun berubah karena pada setiap roti
biasanya diberi isian entah coklat, stroberi, dll.
Kepercayaan
orang Betawi zaman dahulu memang sangat kuat khususnya dalam menyerahkan
seorang anak perempuan. Pihak lelaki harus benar-benar di anggap mampu untuk menghidupi
dan menyejahterakan anak perempuannya dari segi ekonomi sudah dapat membeli dan
mampu mencukupi semua kebutuhan rumah tangganya kelak. Sehingga permintaan
buaya yang dulu kabarnya menjadi cerita rakyat jika dikaitkan makna adalah
setiap orang tua dari pihak wanita, tentu ingin agar anaknya mendapatkan lelaki
yang benar-benar tak hanya mencintainya tetapi juga dianggap mampu menghidupi
anak perempuannya dengan layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar