Pemurnian
Pengetahuan dari Kepentingan dalam Filsafat Modern
Dalam sejarah filsafat,
pembersihan teori dari kepentingan itu berlangsung dalam dua jalur. Pada jalur
yang satu, para filsuf yang mengutamakan kemampuan rasio manusia menganggap
bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh malalui rasio manusia sendiri. Pada
jalur lainnya para filsuf yang mementingkan peranan pengalaman empiris
menganggap bahwa pengetahuan murni semacam itu bias diperoleh hanya melalui
pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan. Demikianlah sudah sejak dini
tampil dua tokoh besar yang menekankan peranan intuisi. Ia beranggapan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan
tunggal yang tidak berubah-ubah, yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea.
Pengetahuan manusia bersifat apriori,
sudah melekat pada rasio itu sendiri, maka tugas manusia sendiri hanyalah
mengingat kembali apa yang terdapat secara apriori
dalam rasionya, yaitu idea-idea. Untuk itu manusia harus terus-menerus
membersihkan manusia dari unsur yang berubah-ubah agar dapat menembus hakikat
kenyataan atau idea-idea. Para jalur kedua Aristoteles yang mengutamakan
peranan abstraksi. Baginya pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan empiris.
Pengetahuan bersifat aposteriori,
maka tugas manusia adalah mengamati unsur-unsur yang berubah-ubah dan melakukan
abstraksi atas unsur-unsur itu sehingga dari yang particular diperoleh yang
universal. Untuk melakukan abstraksi
ini pun manusia harus membersihkan diri dari unsur-unsur yang berubah-ubah.
Kedua jalur itu
menampakkan diri kembali dalam filsafat modern. Pada jalur pertama tampil
aliran rasionalisme yang dirintis oleh Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes.
Pada jalur yang sama berdiri juga filsuf-filsuf yang rasionalitas, seperti
Melabranche, Spinoza, Leibniz, dan Wolf. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan
sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat apriori. Pengetahuan apriori
semacam itu disebut pengetahuan transcendental karena mengatsi
pengamatanempiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia
dipandang universal dan transhistori. Pada jalur lainnya tampil aliran
empirisme dan para pemikir seperti Hobbes, Locke, Barkeley, dan Hume berdiri
pada jalur ini. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh
hanya melalui pengamatan empiris dan karenanya bersifat apositeriori. Pengetahuan semacam ini disebut pengetahuan empiris
karena mendasarkan diri pada pengalaman.
Baik rasionalisme
maupun empirismeberusaha keras memperoleh teori yang bersifat ilmiah.
Rasionalisme memandang teori semacam itu dapat dihasilkan dari pengetahuan apriori dalam bentuk pernyataan logis
dan matematis, sedangkan empirisme menganggap teori ilmiah semacam itu dapat
melalui “evidensi pengamatan inderami”. Dengan demikian, meskipun pangkal
perolehan pengetahuannya keduanya berbeda, keduanya sama-sama berkeyakinan
bahwa suatu teori murni mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan
dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Dapus: Hardiman, F.Budi. 2014. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar