Sabtu, 17 Desember 2016

Pemurnian Pengetahuan dari Kepentingan dalam Filsafat Modern

Pemurnian Pengetahuan dari Kepentingan dalam Filsafat Modern

Dalam sejarah filsafat, pembersihan teori dari kepentingan itu berlangsung dalam dua jalur. Pada jalur yang satu, para filsuf yang mengutamakan kemampuan rasio manusia menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh malalui rasio manusia sendiri. Pada jalur lainnya para filsuf yang mementingkan peranan pengalaman empiris menganggap bahwa pengetahuan murni semacam itu bias diperoleh hanya melalui pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan. Demikianlah sudah sejak dini tampil dua tokoh besar yang menekankan peranan intuisi. Ia beranggapan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang tidak berubah-ubah, yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada rasio itu sendiri, maka tugas manusia sendiri hanyalah mengingat kembali apa yang terdapat secara apriori dalam rasionya, yaitu idea-idea. Untuk itu manusia harus terus-menerus membersihkan manusia dari unsur yang berubah-ubah agar dapat menembus hakikat kenyataan atau idea-idea. Para jalur kedua Aristoteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Baginya pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan empiris. Pengetahuan bersifat aposteriori, maka tugas manusia adalah mengamati unsur-unsur yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsur-unsur itu sehingga dari yang particular diperoleh yang universal. Untuk melakukan abstraksi ini pun manusia harus membersihkan diri dari unsur-unsur yang berubah-ubah.
Kedua jalur itu menampakkan diri kembali dalam filsafat modern. Pada jalur pertama tampil aliran rasionalisme yang dirintis oleh Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes. Pada jalur yang sama berdiri juga filsuf-filsuf yang rasionalitas, seperti Melabranche, Spinoza, Leibniz, dan Wolf. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat apriori. Pengetahuan apriori semacam itu disebut pengetahuan transcendental karena mengatsi pengamatanempiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia dipandang universal dan transhistori. Pada jalur lainnya tampil aliran empirisme dan para pemikir seperti Hobbes, Locke, Barkeley, dan Hume berdiri pada jalur ini. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya melalui pengamatan empiris dan karenanya bersifat apositeriori. Pengetahuan semacam ini disebut pengetahuan empiris karena mendasarkan diri pada pengalaman.

Baik rasionalisme maupun empirismeberusaha keras memperoleh teori yang bersifat ilmiah. Rasionalisme memandang teori semacam itu dapat dihasilkan dari pengetahuan apriori dalam bentuk pernyataan logis dan matematis, sedangkan empirisme menganggap teori ilmiah semacam itu dapat melalui “evidensi pengamatan inderami”. Dengan demikian, meskipun pangkal perolehan pengetahuannya keduanya berbeda, keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.

Dapus: Hardiman, F.Budi. 2014. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar